Awal Mula
Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia
sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai
pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gang Pegangsaan,
Gypsy(Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS
(Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka
inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri
sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah
tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung
itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan
gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal
kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas
bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar
negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis,
Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang
kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album
ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.
Menjelang
akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang
mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik
metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang
menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth,
Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang
hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik
ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali
tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat
itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub,
sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong,
anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub,
diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu
biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan
kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.
Band-band
yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica
& Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of
Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R),
Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary).
Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah
diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal
band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal
lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death
selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat
bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri
dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan
Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang
ekstrem baginya.
Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang
masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover
version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman
untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka
adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat
kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu.
Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah
bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik
rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari
beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio
Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.
mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.
Selain
hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini
sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di
daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu
sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu
Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga
Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting
sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis
Getah dan juga
mantan vokalis Rotor.
mantan vokalis Rotor.
Tak seberapa jauh dari
Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah
Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan
bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah
rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat
band-band rock underground
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA
Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas
Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).
Berkonsernya dua supergrup metal
internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993)
memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal
sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses
“membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album
debut self-titled mereka di bawah
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band
seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius
Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.
Dari
sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin
baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk
scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta
sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar
awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.
Pada era ini hype
musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem
yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga
gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era
ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens,
Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan
sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat
sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di
Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam
secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer
Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil,
Puppen dan PAS).
Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran
fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi
pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig
dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di
komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste
tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan
mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi
berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan
ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997
Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.
penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan
sebagainya.
29
September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan
rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik
indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground
Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café
legendaris yang dimiliki rocker gaek
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.
Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah,
Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.
10 Maret 1999 adalah hari kematian
scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir
kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang
berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga
berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian
dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak
melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik
indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska,
Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk
scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs
punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit
di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk
juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The
Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut,
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.
Scene Punk/Hardcore/Brit/Indie Pop
Invasi
musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex
Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam
melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya
saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal
kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan
dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan
selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah
musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala
The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.
kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V,
Parklife hingga Death Goes To The Disco.
Pestol
Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat
melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan
nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols.
Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah
alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic
juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada
akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru
rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band
alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan
lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.
Selain
itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang
awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh
berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots
merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via
label indie Movement Records. Komunitas-
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.
komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.
Sementara
rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi
Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997
dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti
Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi
punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement
Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical
Death hingga Out Of Control.
Bandung scene
Di Bandung
sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal
bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang
terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh
Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin
berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.
Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas
Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993
menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis
album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through
The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat.
Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen
tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio
GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar
demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan
sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak
bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan,
kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best
of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu
Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore
lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga
album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000).
Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled.
Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga
mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis
albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan
menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di
sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri
Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground
cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus
Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di
sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di
Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis
band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok
Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua
materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun
internasional.
Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti
Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media
indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas
kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut
tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format
majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini
masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju
tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai
band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi
Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu
pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar.
Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre
musik ini.
Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock
underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal
hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini
laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun
kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur
bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya
beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik
hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas
tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja
sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo.
Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga
saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.
Sempat
dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung
memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas
bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh
Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual
album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga
berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang
pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia,
juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan
Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap
loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal
keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket
Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T.
Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk
membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!
Scene Jogjakarta
Kota
pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini
ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di
Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal
underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder.
Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah
Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg.
Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band
metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal
Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.
Untuk scene
punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah
nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM
65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan
untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight
adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The
Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di
Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini
dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser
keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah
menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di
Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001
silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not,
Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat.
Mesin Jahat.
Scene Surabaya
Scene
underground rock di Surabaya bermula dengan semakin
tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death
metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya
berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI - Red)
dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry,
Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.
Setelah
event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari
organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana
sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu
itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik
band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek,
kini RIP - Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal
terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja
dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.
Rencana pertama
Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman
Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan
konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai
berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan
Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini
dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat
atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.
Pada masa-masa
terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label
mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band
death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath
yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction”
(September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion”
(97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage”
hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.
Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah
Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di
kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu
di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran
musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian
berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black
metal di Surabaya kala itu.
Hanya bertahan kurang lebih beberapa
bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya.
Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk
sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi
di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death
metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru.
Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP
Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event
paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal
tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 –
1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di
even tersebut sebagai band undangan.
Scene ekstrem metal di
Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black
metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens
dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah
band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang
sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.
Tepat
tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang
markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR.
Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini
tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie
label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara
underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO
178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II
hingga BLUEKHUTUQ LIVE.
Band-band underground rock yang kini
bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The
Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan
sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama
POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di
kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini
tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar
sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan
mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung
mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.
Maka, untuk
mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam
scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama
kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang
memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik
underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi
lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang
justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut
mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim
dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter
tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah
menerbitkan edisinya hingga ke- 12.
Divisi indie label dari
INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap
menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki
tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi
album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang
Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.
Scene Malang
Kota berhawa dingin yang ditempuh
sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene
rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama
Total Suffer Community(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi
kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995.
Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene,
namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).
Beberapa band Malang lainnya yang
patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets,
Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah
menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut
mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records
Scene Bali
Berbicara scene
underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai
pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder
di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra
Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah
metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.
Awal
1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan
sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996
menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut
di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya
Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia,
Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah
Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot
(Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot
sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock
underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.
Memasuki
era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D
memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras
lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera
daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk
mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya
kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah
pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara
rock reguler di tempat ini.
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana
pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran
teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi
perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka
lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di
Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan
dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label
berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan,
minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan
tahun ke depan.
Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan
idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene
musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan
klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air.
Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena
kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang
`sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi
kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu
keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie
karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang
memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih
kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan
oleh media massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah
serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label,
ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis
album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia.
Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari
hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi
indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas
mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.
…And history is still in the making here…..
No comments:
Post a Comment