Dalam teori, lukisan ekspresionisme berusaha
menggambarkan atau melukiskan aktualitas yang sudah didistorsikan kearah
suasana bentuk dan warna guna melahirkan emosi ataupun sensasi dari
dalam berupa gambaran tragedi, kekerasan serta berbagai dinamika dan
peristiwa yang direkam pelukis untuk divisualisasikan kepermukaan
kanvas.
Teori lain tentang
ekspresionisme juga menyebutkan, bahwa mazhab ini mengutamakan curahan
batin sendiri secara bebas dan mengungkap perwatakan atas suatu gejala,
lebih jauh sampai kepada pengungkapan renungan batin yang bebas dari
kenyataan diluar dirinya.
Namun pada hakekatnya
semua karya seni termasuk ekspresionisme, karena memang merupakan
ekspresi seniman. Karya bersifat subjektif dan ungkapan sebebasnya dari
seniman biasanya digolongkan ekspresionisme. Kemudian pelukis tidak
melukiskan pandangan mata melainkan perasaan hati, bukan lahiriah tetapi
kejiwaan, misalnya melukis panasnya “anglo” atau “tungku api” tidak
dengan pewarnaan coklat tua warna asal bahan, melainkan merah membakar
yang memancarkan panas diperkuat unsur garis sebagai peranan penting
yang tidak boleh diabaikan, mengingat garis dapat melahirkan perwatakan
atau ekspresi.
Baik warna maupun bentuk banyak yang diubah sedemikian rupa hingga mendorong pelukisan suasana warna dan bentuk. Bahkan Worringer pernah
mengatakan bahwa karya-karya ekspresionisme kebanyakan terdapat suatu
tendensi kearah individualistis pribadi-pribadi yang tidak menumbuhkan
nilai sosialnya, tetapi justru yang hadir kesadaran terhadap isolasi
orang lain disekitar kita. Kemudian pendapat Daumier, bahwa hal
yang seyogyanya selalu kita lihat dalam menyoal individualistis karena
adanya kesadaran seniman untuk mengisolasi diri dan menemukan inspirasi
serta motivasinya diri sendiri.
Batasan yang paling
spesifik perihal ekspresionisme kemudian terus bergulir bahkan
berkembang mengarah kepada ”sesuatu” kecendrungan penggayaan/style,
mazhab atau aliran seni lukis abad 20 yang lahir di Jerman yang dalam
beberapa saat berkembang disana. Tokoh-tokoh berpengaruh diantaranya
adalah Franz Marc (1880-1916) dengan melukis binatang bebas tanpa
mempedulikan anatomi. Tiap warna yang dioleskan dan goresan garis
mempunyai arti mendukung ungkapan perwatakannya. Tokoh lainnya
diantaranya : Vincent Van Gogh, P. Gauguin. Henri Matisse, Andre Derrain.
EKSPRESIONISME MURNI DAN EROPA UTARA
Menyimak perjalanan seni
lukis ekspresionisme kecuali peformance karya-karya yang pernah
dihasilkan para seniman, ternyata ekpresionis-ekspresionis yang muncul
kepermukaan yang dinilai murni berasal dari seniman-seniman Eropa utara
lebih dikenal dekat dengan sifat-sifat Worringer. Dari Belanda ada Van Gogh, Jerman dan Rusia tercatat Kandinsky, Jawlensky. Sementara Van Gogh, Paul Gauguin banyak berpengaruh timbulnya ekspresionisme di Jerman. Pelopor dari Swiss Ferdinant Hodler (1853-1918), Belgia, James Ensor (1860-1949) dan Edward Munch (1863-1944).
Yang menarik perhatian
menyoal eksperesionisme manakala terdapatnya pertentangan dua kubu
kecenderungan penggayaan/style antara klasikisme dan romantisme yang
intinya pertentangan kalangan pembina klasikisme-romantisme Paris dengan
kaum ekspresionisme.
Dari banyak pendapat yang
terus menggelinding, ekspresionisme sering disebut lawan impresionisme
yang hanya berusaha melukiskan kesan optik dari sesuatu guna melihat
dunia sebagai sebuah tempat yang indah penuh warna, penuh dinamika.
Sementara ekspresionisme menjelajah jiwa yang pancarannya keluar
merupakan kegelapan yang menyelubung dunia.
Tahun 1905 kelomopok Die Brucke bertepatan
lahirnya kecenderungan penggayaan/style Fauvisme di Dresden maka saat
itu pula segera terbentuk gerakan ekspresionisme secara resmi
pertamakalinya di belahan dunia ini, meski waktu itu istilah
ekspresionisme belum dipakai. Enam tahun kemudian muncul nama
ekspresionisme sesungguhnya dengan para pelopor pembentukannya antara
lain Ernst Ludwing Kirchen (1880-1938), Max Pechsten (1884-1955), Emil Noide (11867-1956) dan Otto Mueller (1974-1930).
Karya-karya yang menonjol kelompok Die Brucke antara lain ; ”Jalan di Berlin” (1913) dan ”Jalan di Dresden” karya Kirrshner, ”Kolam di hutan” (1910) karya Heckel, ”Lofthus” (1911) Schmidt Rottluff, ”Orang India dan wanita” (1910) Pechstein, ”Tiga gadis dalam hutan” (1920), ”Sepasang Pecinta” (1919) merupakan karya terbaik ekspresionis Mueller sementara karya pelukis Noide adalah ”Penari lilin” (1912) dan ”Pemakaman” (1915).
Tetapi kelompok Die Brucke tentulah
tidak berjalan sendiri-sendiri karena masih banyak sejumlah pelukis
lain dari Eropa yang turut memperkaya suasana bersenilukis, bahkan ada
yang tidak sepaham dengan kelompok Die Brucke seperti kelompok
seniman-seniman Blaue Reiter seperti Alexei Von Jawlensky kelahiran Rusia (1884-1941), Lyonel Feininger (1891-1956) dan Paul Klee (1879-1940). Ketiga mereka dan diperkuat pelukis Kandinsky tahun 1934 membentuk kelompok Die Blauue Vier yang merupakan kelahiran kembali kelompok Reiter.
Hal menarik sepanjang
perjalanan ekspresionisme terutama saat paling ganas perang dunia
pertama, para pelukis ekspresionis saat itu merasa tidak sehati dan
tidak cocok dengan non obyektivitas serta nafas segar dari kelompok kaum
Blaue Reitter karena tidak sesuai dengan emosionallitas Brucke yang
terlalu individual dan kurang sesuai pada situasi masalah umum. Dengan
demikian bermunculanlah kaum atau kelompok yang beranggotakan sejumlah
pelukis dengan menggambarkan masalah-masalah umum yang tidak terwadahi
kelompok pelukis lain saat itu.
Di tanah air berangkat
dari perjalanan panjang kaum ekspresionisme dunia bermunculan sejumlah
nama-nama yang kuat karya-karyanya dalam peta seni rupa diantaranya
terdapat nama Affandi, Mardian, Zaini. Pelukis maestro
Affandi diantara sejumlah pelukis ekspresionis yang ada di Indonesia
dinilai sangat kuat dalam karya-karyanya yang ekspresif dengan
garis-garis liar dan lancar dipermukaan kanvas tanpa kehilangan nilai
estetika tinggi, lihat sejumlah karya-karyanya yang kini tersimpan rapi
disejumlah museum dan galeri di tanah air serta beberapa diantaranya
terdapat di museum Asia dan Eropa.
No comments:
Post a Comment