Musisi Roy Jeconiah
menganggap saat ini musik rock di
Indonesia seperti kumpulan gerilyawan yang meski hidup namun terlihat
samar-samar. “Kalau mati enggak, off air-nya jalan terus. Tapi ya memang sangat tergeser
dengan yang lagi dianggap menjual, jadi enggak tampak,” kata eks vokalis band
rock Boomerang itu.
Menurut Roy, redupnya aliran rock saat ini karena semua masih tergantung label besar di Indonesia yang perannya masih dominan di Tanah Air. Sehingga cara pandang label pun pada pasar sangat mempengaruhi musik yang akan disuguhkan ke publik.
“Tidak seperti dulu, masih banyak major label yang mau memberi treatment pada semua jenis aliran termasuk rock. Treatment itu kuncinya sebuah musik bisa hidup,” katanya.
Treatment yang dimaksud Roy adalah kepedulian memberi ruang dan tak abai pada kreativitas yang dihasilkan sebuah band, meski jenis aliran musiknya berbeda. Misalnya saja soal memfasilitasi rekaman hingga melakukan promo dengan menggelar konser.
“Asal treatment itu ada, akan tetap punya pasar kok. Tapi kan selama ini selalu pakai alasan tak bisa dijual,” kata musisi yang hengkang dari Boomerang dua tahun silam itu.
Roy mengenang saat dulu label yang tak sampai masuk dapur rekaman mencampuri kreativitas musisi. Label hanya terima jadi apa yang dibuat musisi.
“Sekarang enggak ada (label) yang berani (bebaskan kreativitas), tapi ikut dikte semua kalau perlu sampai promosinya. Jadi musiknya pun seragam,” kata musisi yang punya mimpi memiliki solo album itu.
Pria yang pernah berjualan Soto Ayam usai keluar dari Boomerang itu membantah pembajakan menjadi satu-satunya faktor yang membuat label merugi.
“Meski era Boomerang dulu masih kaset, pembajakan juga sudah ada, tapi penjualan album tetap jalan. Jadi bukan itu masalahnya, tapi lebih soal treatment itu. Ada nggak yang masih peduli?” kata pelantun tembangBawalah Aku itu.
Vokalis yang menghasilkan 12 album bersama Boomerang itu pun juga menyorot pragmatisme bibit-bibit rock saat ini yang dinilai sering abai pada produksinya sehingga makin tak dilirik. “Lagu-lagu dan lirik kuat, tapi finishingnya enggak digarap. Sound seadanya,” katanya.
Menurut Roy, redupnya aliran rock saat ini karena semua masih tergantung label besar di Indonesia yang perannya masih dominan di Tanah Air. Sehingga cara pandang label pun pada pasar sangat mempengaruhi musik yang akan disuguhkan ke publik.
“Tidak seperti dulu, masih banyak major label yang mau memberi treatment pada semua jenis aliran termasuk rock. Treatment itu kuncinya sebuah musik bisa hidup,” katanya.
Treatment yang dimaksud Roy adalah kepedulian memberi ruang dan tak abai pada kreativitas yang dihasilkan sebuah band, meski jenis aliran musiknya berbeda. Misalnya saja soal memfasilitasi rekaman hingga melakukan promo dengan menggelar konser.
“Asal treatment itu ada, akan tetap punya pasar kok. Tapi kan selama ini selalu pakai alasan tak bisa dijual,” kata musisi yang hengkang dari Boomerang dua tahun silam itu.
Roy mengenang saat dulu label yang tak sampai masuk dapur rekaman mencampuri kreativitas musisi. Label hanya terima jadi apa yang dibuat musisi.
“Sekarang enggak ada (label) yang berani (bebaskan kreativitas), tapi ikut dikte semua kalau perlu sampai promosinya. Jadi musiknya pun seragam,” kata musisi yang punya mimpi memiliki solo album itu.
Pria yang pernah berjualan Soto Ayam usai keluar dari Boomerang itu membantah pembajakan menjadi satu-satunya faktor yang membuat label merugi.
“Meski era Boomerang dulu masih kaset, pembajakan juga sudah ada, tapi penjualan album tetap jalan. Jadi bukan itu masalahnya, tapi lebih soal treatment itu. Ada nggak yang masih peduli?” kata pelantun tembangBawalah Aku itu.
Vokalis yang menghasilkan 12 album bersama Boomerang itu pun juga menyorot pragmatisme bibit-bibit rock saat ini yang dinilai sering abai pada produksinya sehingga makin tak dilirik. “Lagu-lagu dan lirik kuat, tapi finishingnya enggak digarap. Sound seadanya,” katanya.
No comments:
Post a Comment